BEBERAPA HASIL PENELITIAN PSW UGM TAHUN 2009
1. MODEL PENANGANAN BENCANA YANG SENSITIF GENDER DI PEDESAAN (PSW UGM-DIKTI)
– Relasi gender membawa pengaruh dalam kehidupan keseharian antara laki-laki dan perempuan. Relasi gender tersebut akan memberikan efek yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan sebelum, ketika, dan setelah bencana terjadi sehingga dapat dipastikan bahwa laki-laki memiliki peluang lebih besar pada akses dan kunci-kunci penyelamatan karena peran laki-laki di wilayah publik, sedangkan perempuan lebih rentan menjadi korban bencana.
– Perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap bencana melalui peran sosial yang dibangun oleh masyarakat. Perempuan memiliki lebih sedikit akses ke sumber daya, misalnya jaringan sosial dan pengaruh, transportasi, informasi, keterampilan (termasuk di dalamnya melek huruf), kontrol sumber daya alam dan ekonomi, mobilitas individu, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, bebas dari kekerasan, dan memegang kendali atas pengambilan keputusan.
– Proses penanggulangan bencana harus memberi peluang yang seimbang antara laki-laki dan perempuan untuk berperan dan mengambil keputusan. Masyarakat dalam komunitas desa rawan bencana, dalam penanggulangan bencana harus diberdayakan dalam konteks mereka mempunyai modal sosial, ekonomi dan fisik sebagai usaha ke arah kemandirian. Masyarakat desa berpeluang memiliki perilaku tanggap bencana yang menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gotong royong adalah modal bagaimana masyarakat terlibat dalam penanggulangan bencana.
2. PEMETAAN DAERAH RAWAN KETIDAKADILAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN EKONOMI (PSW UGM-BPPM PROVINSI DIY)
a. Di bidang pendidikan
(1) Di Kabupaten Bantul, angka melek huruf sudah cukup baik. Ini terbukti dengan persentase angka melek huruf sebesar 96,45% untuk laki-laki sedangkan perempuan sebesar 83,37%. Meskipun melihat dari persentase tersebut, angka melek huruf perempuan masih jauh berada dibawah laki-laki. Untuk Angka Putus Sekolah, paling besar di tingkat SLTA yakni laki-laki 26,70% dan perempuan 36,25%, di tingkat SLTP yakni laki-laki 9,20% dan perempuan 8,61%. Sementara tingkat SD sebesar 0. Selama tahun 2007 tercatat 443 anak di Kabupaten Bantul putus sekolah dengan faktor utama adalah masalah ekonomi. Jumlah anak putus sekolah sebagian besar terjadi pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni sebanyak 144 orang.
(2) Di Kabupaten Gunungkidul, dari 18 kecamatan yang ada, rata-rata lama sekolah SD tertinggi dicapai oleh kecamatan Patuk, Purwosari, Girisubo. Untuk ketiga kecamatan tersebut, rata-ata lama sekolah terendah adalah 6,46 untuk siswa laki-laki sedangkan tertinggi adalah 6,18 untuk siswa perempuan. Kemudian untuk rata-rata lama sekolah SLTP, rata-rata lama sekolah tertinggi untuk laki-laki berada di Kecamatan Tanjungsari dengan angka sebesar 3,04 sedangkan rata-rata lama sekolah tertinggi untuk perempuan berada di Kecamatan Semin dan Saptosari dengan angka sebesar 3,01. Bila dilihat secara keseluruhan antara laki-laki dan perempuan di seluruh kecamatan yang ada di Gunungkidul, rata-rata lama sekolah tertinggi dipegang oleh pihak perempuan. Selanjutnya, rata-rata lama sekolah SLTA, tertinggi untuk laki-laki berada di Kecamatan Playen dengan angka sebesar 3,06 sedangkan rata-rata lama sekolah tertinggi untuk perempuan berada di kecamatan Gedangsari dengan angka sebesar 3,03. Rata-rata lama sekolah SLTA tertinggi juga berada di pihak perempuan. Angka Partisipasi Kasar (APK) di Kabupaten Gunungkidul baik di tingkat SD, SLTP maupun SLTA tertinggi berada pada siswa laki-laki yakni 90,15% untuk tingkat SD, 52,15% untuk tingkat SLTP, dan 10,10% untuk tingkat SLTA sedangkan pada siswa perempuan yakni sebesar 81,06% untuk tingkat SD, 48,54 untuk tingkat SLTP, dan 9,35 untuk tingkat SLTA.
(3) Di Kabupaten Kulon Progo, untuk pastisipasi siswa sekolah baik tingkat SD sampai tingkat SLTA lebih tinggi siswa laki-laki daripada perempuan. Dari 12 kecamatan yang ada di Kulon Progo hanya ada dua kecamatan dimana persentase siswa perempuan lebih banyak daripada siswa laki-laki. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kokap dan Kecamatan Kalibawang. Di Kecamatan Kokap, persentase siswa SD laki-laki adalah 47,42% sedangkan perempuan adalah 52,58%. Di Kecamatan Kalibawang, persentase siswa SLTP laki-laki adalah 49,13% sedangkan perempuan 50,87%.
b. Di Bidang Kesehatan
(1) Di Kabupaten Bantul terdapat 2 kasus Kematian Ibu Melahirkan, yakni berada di Kecamatan Imogiri. Penyebab kematian tersebut adalah karena terjadi pendarahan pada saat hamil dan kehamilan yang tidak dikehendaki, misalnya bagi ibu yang berpenyakit jantung. Bayi Lahir Mati terdapat 10 kasus (1,93%) dari 527 kelahiran. Kasus tersebut terjadi di Kecamatan Pundong. Persentase Balita Gizi Buruk juga terjadi di Kecamatan Sedayu dengan angka sebesar 1,87%. Penyebab hal tersebut adalah pola makan yang tidak tepat dan seimbang serta penyakit bawaan (TBC).
(2) Di Kabupaten Gunungkidul, untuk jumlah Kematian Ibu Maternal terdapat 2 kasus yakni di Kecamatan Wonosari. Persentase Bayi Lahir Mati terdapat 8 kasus yang terjadi di Kecamatan Nglipar. Kemudian untuk Balita Gizi Buruk terdapat 87 kasus dan terjadi di Kecamatan Wonosari. Penyebab kasus ini adalah karena kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan oleh balita maupun karena penyakit bawaan serta rendahnya kesadaran orangtua akan pentingnya pola makan yang seimbang. Kasus gizi buruk yang ada di Gunungkidul tidak hanya diderita oleh warga yang kurang mampu, melainkan juga terjadi poda warga yang mampu. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian dari orangtua terhadap pola makan anak karena sibuk dengan pekerjaan sehingga anak hanya diberikan makanan fast food (makanan cepat saji) yang notabene tidak baik untuk perkembangan anak usia dini.
(3) Di Kabupaten Kulon Progo, jumlah Kematian Ibu Melahirkan terdapat 2 kasus, yakni terjadi di Kecamatan Girimulyo dan Kokap. Untuk persentase bayi lahir mati sebesar 2,41% dan terjadi di Kecamatan Girimulyo. Jumlah Kematian Bayi tertinggi terjadi di Kecamatan Wates, yakni sebesar 19 kasus, kemudian Jumlah Kematian Balita ada 12 kasus dan terjadi di Kecamatan Lendah. Sedangkan untuk Balita Gizi Buruk terjadi di Kecamatan Panjatan dengan persentase sebesar 13%.
c. Di Bidang Ekonomi
1. Di Kabupaten Bantul, persentase perempuan penganggur tertinggi adalah 7,5% dan terdapat di Kecamatan Sedayu. Sedangkan untuk perempuan bekerja tertinggi terdapat di Kecamatan Pajangan dengan persentase sebesar 67,26%. Untuk perempuan pengurus Rumah Tangga tertinggi berada di Kecamatan Sedayu dengan persentase sebesar 17,12%. Angkatan Kerja Perempuan yang berpendidikan Perguruan Tinggi terdapat di Kecamatan Kasihan dengan persentase 2,85% sedangkan perempuan yang bekerja di sektor pertanian tertinggi terdapat di Kecamatan Pandak, yakni 30,74%.
2. Di Kabupaten Gunungkidul, persentase penganggur laki-laki tertinggi berada di Kecamatan Panggang yakni sebesar 7,94% dan perempuan berada di Kecamatan Karangmojo, yakni 9,44%. Untuk persentase bekerja laki-laki tertinggi berada di Kecamatan Panggang sebesar 92,06% dan perempuan sebesar 90,56% berada di Kecamatan karangmojo. Persentase perempuan pengurus Rumah Tangga sebesar 57,74% dan berada di Kecamatan Ponjong. Perempuan yang bekerja di Sektor Pertanian tertinggi berada di Kecamatan Karangmojo dengan persentase sebesar 73,28%.
3. Di Kabupaten Kulon Progo, persentase penganggur laki-laki dan perempuan tertinggi berada di Kecamatan Kokap yakni sebesar 6,80% dan 6,21%. Kemudian untuk persentase penduduk yang bekerja baik laki-laki maupun perempuan tertinggi berada di Kecamatan Kokap, yakni sebesar 93,20% dan 93,79%. Perempuan yang bekerja di sektor Pertanian di semua kecamatan yang ada di Kulon Progo terdapat lebih dari 50%.
3. PEMETAAN KEKERASAN PEREMPUAN DAN ANAK DI PROVINSI DIY (PSW UGM-BPPM PROVINSI DIY)
– Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh Forum dan LSM sejak tahun 2004–2008 menunjukkan adanya peningkatan kerja sama antarlembaga yang cukup baik dengan adanya Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tingkat Provinsi DIY. Kasus kekerasan terbanyak yang ditangani FPK2PA adalah kekerasan fisik dengan jumlah 1405 kasus (36%). Urutan kedua adalah kekerasan psikis, sedangkan urutan ketiga adalah penelantaran.
– Berdasarkan data P2TPA ”Rekso Dyah Utami” Provinsi DIY diperoleh informasi sebagai berikut:
(a) Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul tertinggi atau terbanyak dalam jumlah klien/korban kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, disusul kemudian Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, dan Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
(b) Kasus kekerasan yang dialami klien/korban yang berasal dari 61 kecamatan se-Provinsi DIY terbanyak adalah kekerasan terhadap Istri (KTI)/KDRT. Kekerasan lainnya adalah kekerasan terhadap Anak (KTA), KTD, perkosaan, kekerasan dalam pacaran, dan pelecehan.
(c) Berdasarkan jenis kelamin, persentase klien perempuan mencapai 87% dan laki-laki 13%. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan korban terbanyak tindak kekerasan. Berdasarkan kelompok umur, korban kekerasan terbanyak pada kelompok umur 31 – 40 tahun (25%), disusul Kelompok Umur 41 tahun ke atas sebanyak 21%, Kelompok umur 0 – 18 tahun (kategori anak dan remaja) mencapai 25%.
(d) Pelaku kekerasan terbanyak adalah suami mencapai 50%. Urutan kedua adalah kelompok lain-lain (tidak jelas identitasnya). Pelaku orang tua sebanyak 11%, sedangkan lainya oleh saudara, pacar, tetangga, ibu dan isteri.
– Pola penanganan korban kekerasan terdapat perbedaan satu dan yang lain bergantung kepada kasusnya. Korban atau klien selalu didampingi konselor sesuai dengan bidangnya masing-masing. Selain itu juga dilaksanakan kerja sama rujukan dengan lembaga lain. Masalah pembiayaan bagi korban tidak mampu bekerja sama dengan Bapel Jamkessos DIY.
– Peran lembaga yang peduli dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak meliputi Sosialisasi UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak, penerbitan media cetak, sosialisasi lewat radio, konseling dan pendampingan korban (dari berbagai aspek), membentuk jejaring dengan lembaga lain, merujuk korban ke lembaga lain.
– Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak ialah membentuk forum komunikasi, sosialisasi, menerima laporan kasus, pendampingan terhadap korban, melaksanakan rujukan kepada lembaga lainnya, pemberdayaan masyarakat. Upaya yang telah dilaksanakan oleh Tim Penggerak PKK Kecamatan dalam pencegahan dan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan meliputi sosialisasi, pemberdayaan keluarga dari berbagai aspek, pendampingan korban kekerasan dan merujuk ke lembaga pelayanan. Beberapa kecamatan memiliki unit pelayanan tingkat kecamatan dan pendampingan yang berupa rehabilitasi sosial ekonomi.
4. PENYUSUNAN RENCANA STRATEGIS PERLINDUNGAN PEREMPUAN DARI TRAFFICKING DI KABUPATEN KAPUAS HULU (PSW UGM-BAPPEDA KAPUAS HULU, KALIMANTAN BARAT)
– Berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan dan anak korban trafficking di Kabupaten Kapuas Hulu adalah pekerja di tempat hiburan, buruh perkebunan atau pabrik, pekerja migran, buruh perkebunan kelapa sawit, buruh perkebunan kayu lapis, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat eksploitatif, dan pelacuran (pekerja seks komersial) terselubung.
– Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perdagangan perempuan dan anak ialah dibukanya Pos Lintas Batas (PLB) Entikong di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, adanya jalan setapak ke Malaysia di wilayah perbatasan, kemiskinan di wilayah Kalimantan Barat, ketimpangan ekonomi struktural antar-Daerah atau Negara, ketimpangan pendidikan dan kesehatan. Adanya pekerja migran Indonesia di Malaysia juga menjadi faktor pemicu terjadinya trafficking.
– Di Kabupaten Kapuas Hulu juga telah dilaksanakan upaya pencegahan trafficking perempuan dan anak baik oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Upaya yang dilakukan berupa:
(a) Sosialisasi kepada masyarakat (Penduduk) di tingkat kecamatan atau kawasan tertinggal untuk mencegah keluarga perempuan mereka dibiarkan putus sekolah dan terdorong untuk bekerja di kota besar atau luar negeri;
(b) Dengan dibentuknya bagian pemberdayaan perempuan pada pemerintahan Kabupaten Kapuas Hulu dan adanya rencana strategis pemberdayaan perempuan, pengarusutamaan gender dapat berjalan dengan baik;
(c) Dengan adanya Pos Lintas Batas Badau pihak imigrasi dapat melaksanakan pengawasan terhadap lalu lintas warga yang akan ke Serawak, demikian pula sebaliknya. Dengan adanya kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu perlu memperbaiki infrastruktur, sarana dan prasarana, SDM di Kecamatan Badau khususnya di Kota Nanga Badau;
(d) Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi juga telah melaksanakan sosialisasi masalah ketenagakerjaan, tetapi untuk pengawasan terhadap tindak pidana perdagangan manusia, masih terkendala tenaga pengawas karena untuk melaksanakan tugas ini pegawai harus mengikuti pelatihan selama sembilan bulan untuk mendapatkan sertifikasi. Hal ini sudah dilaporkan ke Pusat, tetapi belum memperoleh perhatian;
(e) Untuk mengurangi kemiskinan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu telah memiliki rencana strategis untuk Pengetasan Kemiskinan secara terpadu.Wilayah Kabupaten Badau merupakan wilayah utama pengembangan ekonomi di bagian utara Kabupaten Kapuas Hulu;
(f) Masalah pendidikan telah menjadi prioritas di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, baik pendidikan formal dan informal. Hal-hal yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran masyarakat tentang wajib belajar untuk anak usia sekolah. (SD-SMP), peningkatan sarana,dan mutu atau kualitas Sumber Daya Manusia;
(g) Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Hulu telah melaksanakan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan sarana dan SDM. Khususnya di wilayah Badau, juga diupayakan pencegahan dan penanggulangan penyakit HIV / AIDS dengan cara melakukan survei dan penyuluhan setiap tiga bulan sekali bekerja sama dengan mobile VCT dari Pontianak, selain itu juga membentuk komisi Penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten.
– Di Kabupaten Kapuas Hulu juga telah dilakukan upaya perlindungan kepada korban tindak pidana perdagangan perempuan dan anak. Apabila ada kasus akan segera ditangani oleh yang berwajib.
– Sampai saat ini di Kapuas Hulu belum ada lembaga yang menangani korban tindak perdagangan setelah dikembalikan ke Indonesia. Lembaga yang menangani baru terdapat di tingkat Provinsi, yang berada di Pontianak misalnya:
(a) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kalimantan Barat;
(b) PWA Aisyiah Kalimantan Barat melalui Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) dan Lembaga Hubungan Organisasi, Hukum dan Advokasi (LHOHA). Aisyiah Kalimantan Barat telah melaksanakan penyebarluasan informasi mengenai advokasi terhadap korban trafficking, yang dilakukan oleh Lembaga kepada instansi luar negeri, khususnya negara-negara tujuan TKW. Aisyiah Kalimantan Barat juga membina korban trafficking yang semula menjadi PRT, PSK, dan buruh di Malaysia serta Arab Saudi untuk dapat hidup mandiri.
– Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut untuk menangani korban trafficking perempuan dan anak.
– Di Kecamatan Badau telah ada sebuah Paguyuban “Podo Rukun” yaitu Shelter atau tempat penampungan sementara bagi korban trafficking sebelum mendapat tindakan lebih lanjut. Menurut penuturan ketua paguyuban, korban-korban trafficking yang melarikan diri dari Malaysia menuju Badau, mereka kemudian di tampung, untuk korban perempuan, mereka langsung diberi ongkos, kemudian dipulangkan ke daerah asalnya, untuk korban laki-laki, mereka diberi dua pilihan yaitu tinggal di Badau dan dicarikan pekerjaan atau diberi ongkos untuk pulang ke daerahnya. Dari beberapa korban, ada yang tetap tinggal di Badau; bahkan sampai menikah dengan masyarakat setempat dan ada pula yang memilih untuk pulang ke daerahnya.
5. PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN GENDER MELALUI DESA WISATA BUDAYA BERBASIS KEARIFAN LOKAL (PSW UGM-KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN RI)
– Ketidakadilan gender masih terjadi di desa wisata karena adanya stereotipe, marginalisasi dan beban ganda pada perempuan. Dalam pengembangan usaha, di desa wisata Timbulharjo dan Kebon Agung, peran laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Perempuan lebih dominan perannya dalam kegiatan wisata yang berkaitan dengan urusan dapur, yaitu menyajikan konsumsi atau kuliner, dan kerajinan yang dapat ditangani perempuan dalam rumah tangga. Dalam relasi perempuan dan laki-laki, masih terdapat bias gender dalam akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pengembangan desa wisata.
– Mengingat masih terdapatnya ketidakadilan gender di desa wisata, pemberdayaan perempuan merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan dalam pengembangan desa wisata. Model Pemberdayaan Gender melalui desa wisata dapat berupa :
(a) pengembangan masyarakat desa wisata dengan pendekatan Partisipatif;
(b) peningkatan keadilan dan kesetaraan gender dalam masyarakat melalui sosialisasi, diskusi, dan pendidikan keadilan gender dalam keluarga;
(c) pengembangan sumber daya manusia perempuan dan laki-laki melalui pendidikan formal dan nonformal; perempuan harus meningkatkan kualitas diri dengan cara : penguatan diri dan pengembangan wawasan perempuan.
6. PEMETAAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI JAWA TENGAH (PSW UGM-KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN RI)
….
7. BINA KELUARGA TKI (PSW UGM-KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN RI)
– Ada faktor pendorong dari aspek ekonomi dan sosial, tenaga kerja Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri; Pengambilan keputusan seseorang untuk menjadi TKI di luar negeri dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan dan jumlah anak, keterampilan, dan pekerjaan, serta rata-rata penghasilan sebelum bekerja ke luar negeri; Faktor informasi dari seseorang yang pernah bekerja di luar negeri tentang keberhasilan, penghasilan besar, dan iming-iming penghasilan tinggi selama di luar negeri menjadi faktor pendorong utama untuk bekerja ke luar negeri; Faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, status pekerja migran dalam keluarga, dan orang yang mempengaruhi pengambilan keputusan bekerja ke luar negeri juga melatarbelakangi alasan seseorang memilih bekerja ke luar negeri;
– Usaha-usaha yang dilakukan calon pekerja migran untuk dapat bekerja di luar negeri adalah mendapatkan sumber informasi bekerja ke luar negeri baik positif maupun negatif, informasi negara tujuan bekerja, dan menandatangani dan memahami surat perjanjian kerja sebelum berangkat;
– Pihak yang dimintai tolong oleh pekerja migran untuk menyelesaikan kesulitan selama bekerja di luar negeri adalah PJTKI, teman, kedutaan besar Indonesia,di negara yang bersangkutan, saudara, dan aparat keamanan setempat. Namun demikian, masih ada pekerja yang mengalami kesulitan dalam menghubungi pihak-pihak terkait karena sulit menghubungi yang berwenang karena tidak bisa keluar rumah;
– Segi ekonomi, keberadaan remitan sangat penting karena mampu meningkatkan ekonomi keluarga. Kedatangan remitan sangat ditunggu oleh keluarga TKI. Semakin tinggi penghasilan TKI selama di luar negeri pada umumnya semakin tinggi pula jumlah uang yang dikirim untuk keluarga; Pendapatan yang diterima TKI pada umumnya berhubungan dengan latar belakang pendidikan TKI. Semakin tinggi pendidikan seorang TKI biasanya semakin tinggi pula penghasilan yang diterima; Korelasi antara komunikasi dengan pengiriman uang TKI ke keluarga menunjukkan semakin komunikasi terjalin dengan baik antara TKI dengan keluarganya di tanah air frekuensi pengiriman uang TKI semakin baik; Alokasi pemanfaatan remitan digunakan untuk tiga hal, yaitu (a) untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari termasuk biaya sekolah, (b) konsumtif (pembelian pakaian, memperbaiki rumah, pembelian motor, pembelian mobil, perhiasan, bersenang-senang, rokok), dan (c) produktif (membeli tanah, membuka usaha, membeli ternak);
– Di daerah kantong-kantong TKI masih adanya anggapan bahwa semakin kaya seseorang maka ia akan semakin disegani dan tidak dipandang remeh dalam masyarakat sehingga uang kiriman banyak dimanfaatkan yang mengarah pada kepemilikan materi seperti perbaikan/pembangunan rumah, perabot rumah tangga, motor, dan sebagainya; Kepemilikan ternak menjadi salah satu simbol status sosial dalam masyarakat. Seseorang dapat dianggap berhasil jika mempunyai ternak lebih dari satu sehingga mendorong para TKI dan keluarganya untuk memanfaatkan uang kiriman untuk membeli ternak; Pemanfaatan uang kiriman juga digunakan untuk membeli sawah/ tanah. Kepemilikan tanah/ sawah dapat juga dipandang sebagai investasi masa depan sehingga banyak TKI menyisihkan hasil pendapatannya untuk keperluan tersebut. Hal ini dipandang sebagai salah satu indikator keberhasilan TKI; Para TKI yang bekerja di luar negeri tidak akan menghabiskan masa hidupnya untuk bekerja selamanya di luar negeri. Mereka juga ingin kembali ke daerah asal dan menghabiskan waktu mereka dengan keluarga. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah masih minimnya kesempatan kerja di daerah asal. Oleh karena itu, para TKI mempunyai keinginan untuk membuka usaha sendiri;
– Uang kiriman dimanfaatkan dengan skala prioritas berikut ini: Tahap keberangkatan I: uang kiriman TKI digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pembayaran hutang biaya keberangkatan, dan memperbaiki/membangun rumah; Tahap keberangkatan II: uang kiriman TKI digunakan untuk melanjutkan perbaikan/pembangunan rumah, pembelian perabot rumah tangga, dan pembelian motor; Tahap keberangkatan III: uang kiriman TKI digunakan untuk pembelian tanah, pembelian ternak, membangun usaha seperti toko, warung, bengkel, dan lain-lain
– Permasalahan sosial yang dihadapi keluarga migran adalah lemahnya posisi pekerja migran di dalam sistem ketenagakerjaan baik yang berkait hubungannya dengan lembaga yang mengurus pekerja migran di dalam negeri maupun hubungannya dengan pengguna tenaga migran (majikan) di luar negeri;
– Hubungan suami istri dalam keluarga migran berdampak pada hubungan kekerabatan dan pola pengasuhan anak; Kendala komunikasi antara pekerja migran dengan keluarganya tidak bisa dilakukan secara langsung dan dilakukan terbatas pada kendala jarak, waktu, dan biaya. Permasalahan komunikasi antara pekerja migran khususnya mereka yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga dengan keluarganya dipengaruhi oleh majikan tempat mereka bekerja; Frekuensi komunikasi yang dilakukan pekerja migran terhadap keluarganya biasa dilakukan 1 (satu) kali dalam satu bulan. Beberapa hal yang sering dibicarakan dalam berkomunikasi dengan keluarga adalah kondisi kesehatan semua anggota keluarga termasuk kondisi kesehatan pekerja migran di perantauan, kondisi pekerjaan yang dijalani, kondisi rumah dan anak, pemberitahuan tentang pengiriman uang, dan kondisi keuangan keluarga;
– Dorongan peningkatan ekonomi menjadi daya dukung utama ketika salah satu anggota keluarga bekerja ke luar negeri tetapi hal-hal yang terkait hubungan suami istri, hubungan dengan anak dan hubungan dengan anggota keluarga yang lain kurang dipertimbangkan. Minimnya pembicaraan tentang kesepakatan-kesepakatan pengelolaan hal tersebut sehingga apabila pekerja migran telah mengirimkan uang kepada keluarga di rumah dianggap tidak ada masalah;
– Permasalahan rumah tangga keluarga TKI terkait dengan pemenuhan kebutuhan seksual / biologis antara suami dengan istri dapat berakibat terjadinya melakukan onani, selingkuh, ”jajan” ,mencari hiburan, menikah dengan orang lain, bahkan perceraian; Penelantaran anak terjadi pada keluarga TKI; Semakin sering komunikasi dilakukan antara pekeja migran dengan keluarganya semakin terjaga keharmonisan keluarga; Orang tua dalam hal ini baik bapak maupun ibu keluarga pekerja migran pada umumnya menyadari kepergiannya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak; Pola asuh anak keluarga pekerja migran cenderung diasuh oleh orang tua (suami/istri), orang tua atau mertua dan keluarga lain; Adanya hubungan harmonis antara suami atau istri sebagai pekerja migran dengan keluarga secara signifikan cenderung mempengaruhi prestasi anak di sekolah; Kurangnya perhatian orang tua, anak keluarga migran melakukan tindakan-tindakan negatif, misalnya judi, merokok, dan mabuk-mabukan.