Mengutip dari sumber https://www.kompas.id/baca/tokoh/2024/10/04/wardiman-djojonegoro-melengkapi-surat-ra-kartini
Semasa hidup, pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini diperkirakan telah menulis sekitar 400 pucuk surat. Wardiman Djoyonegoro (90), mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan VI, saat ini memecahkan rekor membukukan surat – surat Kartini dalam jumlah paling banyak.
Para ahli memperkirakan 400 pucuk surat ditulis Kartini dalam rentang sembilan tahun, antara 1895 dan 1904. Kartini lahir di Mayong, Jepara, pada 21 April 1879 dan meninggal di Rembang pada 17 September 1904. Ia meninggal berselang empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat.
Wardiman membukukan 179 surat yang dibuat Kartini pada periode 1899 sampai 1904. Belum ditemukan sepucuk surat pun yang dibuat sebelum tahun 1899.
”Kemungkinan surat-surat Kartini yang ditulis sebelum 1899 banyak dikirimkan ke Batavia, ke kolega Kartini yang mungkin terkait dengan murid-murid STOVIA,” ujar Wardiman dalam perbincangan dengan Kompas di kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2024).
STOVIA kependekan dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera, yang didirikan pada 1851. Para ahli memperkirakan Kartini menulis surat terkait dengan keberadaan STOVIA di Batavia dengan alasan tersendiri.
Setidaknya, bagi Wardiman, hal itu cukup masuk akal ketika Kartini sempat menyinggung soal ilmu balut-membalut dalam sebuah artikelnya. Ilmu balut-membalut ini dikaitkan dengan ilmu kesehatan. Artikel itu diberi judul, ”Berilah Pendidikan kepada Orang Jawa”.
Ini ditulis di Jepara, Januari 1903, dimuat ke dalam buku Door Duisternis Tot to Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada 1912 yang diterbitkan Mr JH Abendanon. Buku ini memuat 105 surat Kartini dan pertama kali diterbitkan pada 1911, kemudian dicetak ulang hingga cetakan ke-11.
Di artikel itu Kartini menulis, ”Seorang anak tertabrak trem; rumah dokter terdekat berjarak 2 jam; anak itu diangkut ke sana dan mati kehabisan darah dalam perjalanan karena tidak ada seorang pun yang tahu apa-apa tentang ilmu balut-membalut.”
Ini menunjukkan Kartini memiliki visi tentang emansipasi perempuan dalam hal pendidikan ilmu kesehatan bakal berguna bagi masyarakat luas. Akan tetapi, diskriminasi terhadap perempuan masih membelenggu. Perempuan tidak bisa menempuh pendidikan tinggi pada masa itu.
Kartini ingin melawan itu. Saya begitu terkesan dengan cita-cita Kartini yang begitu tinggi, tetapi tetap dengan rendah hati dan tahu diri,” ujar Wardiman, yang terlahir di Pamekasan, Madura pada 22 Juni 1934, sekitar 30 tahun setelah Kartini wafat.
Buku kumpulan 179 surat Kartini dituangkan Wardiman di dalam buku Trilogi Kartini dengan tiga jilid. Jilid I Kartini, Kumpulan Surat-surat 1899-1904. Buku setebal 926 halaman ini mencakup 179 surat Kartini dan 11 artikel memo yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.
Jilid II Kartini: Hidupnya, Renungannya dan Cita-citanya. Buku ini setebal 336 halaman sebagai biografi Kartini dari buku Kartini Sebuah Biografi, karya Sitisoemandari Soeroto, dan catatan oleh Wardiman.
Kemudian buku yang terakhir, Jilid III Inspirasi Kartini dan KEsetaraan Gender Indonesia setebal 166 halaman ini berisi catatan Wardiman terkait Kartini dan upaya kesetaraan jender di Indonesia. Buku Trilogi Kartini oleh Wardiman diluncurkan pada September 2024.
Perpustakaan kecil
Masa kecil Wardiman di Pamekasan hanya berlangsung singkat karena harus pindah ke Jember selama sembilan tahun hingga 1946. Setahun berikutnya, Wardiman menetap di Malang dan berpindah lagi ke Surabaya pada 1948.
”Ketika duduk di bangku SMP di Surabaya pada 1949, saya sempat datang ke sebuah perpustakaan kecil di pinggir jalan di kawasan Tunjungan. Di situ saya tertarik untuk menyewa bacaan komik atau serial Kho Ping Hoo, dan menjumpai buku Door Duisternis Tot to Licht (DDTL), buku Habis Gelap Terbitlah Terang , dalam bahasa Belanda,” kata Wardiman.
Wardiman memang fasih berbahasa Belanda. Ia pun menyewa buku DDTL itu seminggu lamanya. Tebal buku itu sekitar 200 halaman. Wardiman mulai membaca dan begitu terkesan dengan tulisan surat Kartini yang begitu puitik, dalam bahasa Belanda pula.
Wardiman menyimpan kesan terhadap surat-surat Kartini begitu lama sejak 1949. Hingga sekitar tahun 2013-2014 Wardiman mendapat kesempatan datang dan meneliti di perpustakaan KITLV Universitas Leiden, Belanda, untuk mengajukan berbagai naskah Nusantara sebagai Ingatan Dunia atau Memory of the World (MoW).
”Sejak 2019 saya mulai mengumpulkan salinan naskah asli surat-surat Kartini dalam bahasa Belanda. Waktu itu bersamaan dengan Arsip Nasional Republik Indonesia yang ingin mengajukan surat-surat Kartini ke UNESCO sebagai usaha kesetaraan jender di Indonesia,” ujar Wardiman.
Wardiman menyertakan catatan buku-buku terbaru sebelumnya yang memuat surat-surat Kartini. Di antaranya buku berjudul Kartini: Surat-surat Lengkap dan Berbagai Catatan 1898-1904 oleh Joost Cote, 2022. Buku ini memuat 167 surat Kartini dan beberapa artikel yang ditulis Kartini.
Selama riset di Belanda, Wardiman menemukan surat Kartini yang masih tercecer di Arsip Nasional Belanda, yakni sebanyak sembilan pucuk surat yang ditujukan kepada Mien Bosch Djajadiningrat. Kemudian sepucuk surat lagi di KITLV yang ditujukan kepada HH van Kol.
Apa nilai penting dari temuan surat Kartini yang masih tercecer dan buku Trilogi Kartini itu sekarang? Wardiman mengemukakan, kritik atau komentar sebelumnya banyak dilontarkan mengenai identitas Kartini yang dianggap tidak jujur. Di dalam buku DDTL yang pertama disinggung Kartini anak Bupati Jepara tanpa menyertakan keterangan sebagai anak dari istri selir.
Jadi salah jika menganggap Kartini tidak jujur. Wardiman menemukan catatan di dalam surat Kartini yang dipotong atau tidak diungkapkan sepenuhnya oleh Abendanon dalam buku DDTL. Dalam salah satu surat Kartini menyebutkan dirinya hidup menderita dengan dua ibu. Kemudian juga disebutkan, Kartini terlahir dari ibu kandung yang hanya seorang babu di kabupaten. Tidak lain ia sebagai ibu selir.
Wardiman kemudian menyinggung pula penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Soekarno Nomor 108 tanggal 2 Mei 1964. Di situ tidak ada penetapan hari lahir Kartini pada setiap 21 April agar diperingati sebagai hari nasional.
Pada mulanya, sepeninggal Kartini pada 1913 dibentuklah Yayasan van Deventer oleh Abendanon. Yayasan ini mendirikan sekolah-sekolah bagi perempuan di berbagai tempat. Sejak itu sekolah-sekolah tersebut selalu mengenang 21 April sebagai hari kelahiran Kartini.
Kemudian pada saat Kongres Wanita 1928 untuk pertama kali diperdengarkan lagu ”Ibu Kita Kartini” ciptaan Wage Rudolf Soepratman. Dari sinilah cikal bakal setiap tanggal 21 April diperingati menjadi Hari Kartini sampai sekarang. ”Peringatan Hari Kartini itu tumbuh dari bawah, bukan keinginan Soekarno pada waktu itu,” pungkas Wardiman.