Pada tanggal 16 Februari 2021 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI mengadakan Webinar dengan tema “Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak Dengan Perspektif Agama Dan Kesehatan” dengan naasumber : Dr. Ir. Pribudiarta Nur Sitepu, MM (Sekretaris KPPPA RI), Badriyah Fayumi (Ketua Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia/KUPI); dr. Muhammad Fadli, Sp.Og (dekter spesialis kandungan RS Fatmawati Jakarta; Dra. Lenny Nurhayanti Rosalin, M.Sc (Deputi Bidang Perlindungan Hak Anak KPPPA RI)
Menurut Dr. Ir. Pribudiarta “Berdasarkan data BPS 2018 bahwa dari 9 perempuan usia 20 – 24 tahun, menikah sebelum umur 18 tahun (11%). Indonesia merupakan negara ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN yang terbanyak perkawinan anak. Hal tersebut bertentangan dengan komitmen negara, yaitu UUD 1945, Ratifikasi Konvensi Hak Anak, UU no 23 Tahun 2002, UU no.35 Tahun 2014.
Penyebab perkawinan anak ada beberapa faktur diantaranya faktor Ekonomi dan kemiskinan, Nilai budaya (anak perempuan sebagai asset keluarga), Regulasi (kebijakan-kebijakan yang masih belum berpihak pada anak perempuan), Globalisasi (perilaku remaja yang terpengaruh budaya negative), Ketidaksetaraan gender (kurangnya partisipasi, akses dan pengambilan keputusan bagi anak perempuan.
Dampak perkawinan anak Pada masalah pendidikan, sebanyak 44% anak perempuan yang menikah kurang dari 18 tahun hanya tamat jenjang pendidikan SMP/sederajat. Pada masalah ekonomi, meningkatnya pekerja usia anak. Pada masalah kesehatan, komplikasi kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk anak perempuan usia 15 – 19 tahun dan bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia di bawah 21 tahun berpeluang meninggal 1,5 kali lebih besar dari ibu yang berusia di 21 – 30 tahun. Pada masalah lainnya, mengalami KDRT, meningkatnya resiko perceraian, dan menderita depresi.
Upaya pencegahan perkawinan anak dalam otonomi daerah tercantum dalam Pembangunan Kabupaten/Kota Layak Anak pada indicator no 7.
Lima strategi pencegahan perkawinan anak melalui Anak (Forum anak: Nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/keluarahan); Keluarga (Puspaga/Family Learning Center: nasional, provinsi, kabupaten/kota); Sekolah (Sekolah Ramah Anak); Lingkungan sekitar (Tokoh adat, tokoh agama, NGO, dunia usaha, media, pakar, dan lain-lain.
Ibu Badriyah menyatakan bahwa Musyawarah Keagamaan KUPI memutuskan sikap dan pandangan sebagai berikut: Hukum mencegah pernikahan anak dalam konteks perwujudan kemaslahatan keluarga sakiinah, mawaddah, wa rahmah adalah wajib. Karena, pernikahan anak lebih banyak menimbulkan madlarat/mafsadah ketimbang mendatangkan mashlahat/manfaat. Pihak-pihak yang paling bertanggungjawab untuk melakukan pencegahan pernikahan anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Hal yang bisa dilakukan pada anak yang mengalami pernikahan sebagai bentuk perlindungan adalah memastikan hak-haknya sebagai anak tetap terpenuhi sebagaimana hak-hak anak lainnya terutama hak pendidikan, kesehatan, pengasuhan dari orang tua, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Narasumber merokemendasikan “Memastikan adanya regulasi atau kebijakan yang mengikat di tingkat nasional terkait dengan pencegahan, penanganan, dan penghapusan pernikahan anak. Mengamandemen Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait dengan batas minimal usia seorang perempuan boleh menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Memastikan adanya penyadaran dan edukasi tentang perlindungan anak kepada orang tua, anak, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat negara dan pemerintah, termasuk dampak negatif dan bahaya pernikahan anak. Memastikan penegakan hukum bagi aparatur negara yang terlibat dalam pemalsuan identitas anak yang mendorong terjadinya pernikahan anak. Memastikan instansi terkait (Pemerintah Desa, KUA, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri) untuk tidak mengurus dan mencatatkan secara legal praktik pernikahan anak. Memastikan penegakan hukum bagi aparat pemerintah dan aparat penegak hukum yang terlibat dalam praktik pernikahan anak. Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk membatasi dan selektif terhadap pemberian itsbaat nikaah dan dispensasi pernikahan anak. Memastikan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa untuk memfasilitasi program-program pencegahan dan penanganan pernikahan anak.
Dari segi kesehatan menurut dr. Muhammad Fadli, Sp.Og “Perkawinan anak merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan reproduksi perempuan. Komplikasi dari kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian terbesar ke 2 di antara usia 15-19 tahun. Berdasarkan data BPS tahun 2017 bahwa terdapat peningkatan angka perkawinan anak dari 2015 ke 2017 yaitu 23% ke 25.71%.
Dampak perkawinan anak dari kesehatan: Anak anak yang lahir dari ibu berusia 15-19 tahun memiliki risiko 8 kali untuk mengalami stunting dan 13 kali mengalami underweight. Risiko stunting pada anak yang lahir pada ibu yang berusia di bawah 18 tahun akan bertambah seiring dengan usia ibu yang semakin muda. Ketidaksiapan psikologi pada ibu-ibu muda untuk merawat anak mereka sehingga kebutuhan nutrisi pun tidak kuat. Semakin dini usia perkawinan maka semakin dini pula remaja mulai berhubungan seksual (Early Age at First Sexual Intercourse) sehingga Serviks yang belum matur/dewasa akan mengalami trauma oleh karena hubungan seksual yang terlalu dini, hal tersebut memicu karsinogenesi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehamilan pada remaja/usia 16 tahun memiliki resiko anemia sebanyak 40% dibandingkan wanita hamil di usia 20-24 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa 58-80% wanita yang terdapat fistula (perobekan) saat persalinan adalah kelompok usia di bawah 20 tahun. Kehamilan remaja memiliki resiko untuk lahir sebelum waktunya (Prematur). Bayi yang lahir dari wanita remaja berisiko dengan berat badan bayi rendah.”
Ibu Lenny Rosalin sebagai narasumber berikutnya mengungkapkan bawa Perkawinan anak adalah pelanggaran hak anak berarti juga pelanggaran HAM memuat unsur tindakan pelanggaran hukum. Unsur tindak pidana dalam perkawinan anak melanggar UU No. 23/2002 dan UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974. Hak-hak anak dilindungi oleh peraturan yang berlaku: Konvensi Hak Anak (KHA). Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Pencegahan perkawinan anak masuk dalam 5 arahan Presiden untuk KPPPA RI.
Sumber : Niken