Pada tanggal 14 Desember 2020, Yayasan Mitra Daya Setara didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI melaksanakan webinar dalam rangka peringatan Hari Ibu ke-92. Acara ini bertajuk “Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak” dengan dua narasumber yang mengisi yaitu Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono dan Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan.
Anak memiliki hak untuk hidup, hak berkembang, hak mendapatkan perlindungan, hak bermain, dan hak berpartisipasi. Hak-hak ini termasuk ke dalam hak asasi manusia yang perlu kita lindungi. Namun, perkawinan anak yang masih sering terjadi di masyarakat Indonesia menyebabkan hak-hak anak ini dapat hilang karena mereka terpaksa harus dapat menjalani kehidupan pernikahan. Oleh karena itu, perlu adanya rekayasa budaya (cultural engineering) dan pendekatan agama untuk dapat mencegah perkawinan anak.
Pendekatan budaya
Indonesia saat ini menempati ranking 10 tertinggi di dunia dalam hal terjadinya perkawinan anak. Hal ini tidak dipungkiri karena terdapat banyak budaya dan adat istiadat di Indonesia yang dapat melanggengkan perkawinan anak. Seharusnya kita mampu untuk melestarikan budaya, akan tetapi juga diiringi dengan keilmuan. Ketika anak tidak siap, sering kali ketika mereka hamil dan memiliki bayi, maka bayi tersebut akan diasuh oleh kakek dan nenek. Hal ini sebetulnya tidak baik bagi orang tua dan bayi karena hilangnya atau rendahnya kedekatan ikatan batin di antara mereka.
Di masa SD (sekolah dasar) mungkin tidak perlu adanya pendidikan seksual secara eksplisit, akan tetapi perlu adanya kurikulum untuk memberikan kesadaran kepada anak mengenai bagian-bagian tubuh privasi mereka. Dengan demikian, mereka akan terbiasa sejak dini untuk menjaga bagian tubuh tersebut sehingga ia akan menghormati dirinya dan tidak akan bersedia untuk dilecehkan, termasuk dalam hubungan pacaran suka sama suka. Selain itu, media dalam memberitakan perkawinan anak juga perlu disertai ulasan komprehensif mengenai dampaknya sehingga masyarakat menjadi lebih paham dari pada hanya menyampaikan informasi umum saja.
Pendekatan Agama
Banyak yang menilai bahwa perkawinan merupakan sunah rasul dan sebuah ibadah yang baik untuk dilangsungkan. Namun, patut kita ingat juga bahwa ibadah itu tidak bisa sembarangan dilakukan. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, tenang, dan damai – atau yang sering kita kenal dengan samawa. Untuk dapat mencapai tujuan ini tentunya kedua mempelai harus dewasa agar lebih siap dalam mengarungi kehidupan pernikahan. Dewasa atau baligh yang dimaksud di sini tidak hanya dewasa secara fisik, akan tetapi juga psikis. Sedangkan, sering kali baligh hanya dilihat ketika seorang anak perempuan sudah mengalami menstruasi. Padahal yang kita tahu sekarang ini umur anak perempuan mengalami menstruasi jauh lebih awal dibanding zaman dulu karena perbaikan nutrisi dan lainnya.
Sering kali muslim mengacu pada kisah Nabi Muhammad dengan Aisyah yang masih anak-anak untuk alasan melangsungkan perkawinan anak. Namun, kita juga perlu memahami bahwa hal tersebut merupakan perintah Allah SWT dan Aisyah bukanlah orang yang sembarangan. Ia adalah perempuan yang sangat cerdas, penyejuk, pelipur lara, memiliki ilmu yang mendalam mengenai Islam, dan sering menjadi referensi bagi para sahabat. Nabi Muhammad SAW juga tentunya sangat mampu untuk membimbing Aisyah dalam kehidupan bahtera rumah tangga. Oleh karena itu, kita tidak bisa menyamakan situasi kita yang merupakan manusia biasa dengan kisah Nabi Muhammad dengan Aisyah. Selain itu, pada dasarnya di dalam Al Quran dan Hadist tidak ada anjuran apalagi perintah untuk melangsungkan perkawinan anak.
by: Vesa