Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar acara bertajuk “Ngobrol Bersama Prof. Muhadjir: Kekerasan terhadap Perempuan, RUU PKS, dan Kasus Nikita Mirzani vs HRS.” Acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia yaitu pada tanggal 25 November – 10 Desember 2020. Berikut merupakan rangkuman dari hasil diskusi pada acara tersebut.
Kekerasan terhadap Perempuan
Kasus kekerasan terhadap perempuan telah mengalami kenaikan 8x lipat atau 800% dalam 10 tahun terakhir. Kekerasan terhadap perempuan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu oleh laki-laki, sesam perempuan, maupun institusi seperti negara atau korporasi. Lingkup kekerasan terhadap perempuan pun dapat terjadi baik di rumah tangga (lingkup domestik) maupun di tempat-tempat umum (lingkup publik). Selain itu, objek kekerasannya bisa berupa kekerasan seksual maupun kekerasan non-seksual.
Terdapat beberapa isu yang sangat menonjol mengenai kekerasan terhadap perempuan. Pertama, perbudakan atau slavery yang seharusnya kasus ini sudah selesai sejak lama. Namun, pada kenyataannya kita masih dapat melihatnya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pada pembantu rumah tangga. Mereka bekerja tanpa limit waktu sehingga harus siap melayani selama 24 jam dengan upah yang sangat minim. Artinya, terhadap kekerasan terhadap perempuan sebagai pembantu rumah tangga karena minimnya penghormatan terhadap mereka.
Kedua, human trafficking atau perdagangan manusia yang mana kebanyakan korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Kasus ini seperti gunung es yang sebenarnya sangat banyak terjadi di Indonesia tapi tidak terlalu menonjol karena banyak kasus yang under reported. Ketiga, kekerasan seksual. Di UGM pernah terjadi Kasus Agni yaitu seorang mahasiswa perempuan yang mengalami kekerasan seksual saat menjalankan program KKN. Kasus ini merupakan masalah yang besar di UGM yang menyebabkan banyak terjadi demonstrasi di mana-mana. Dari kasus inilah akhirnya UGM mengeluarkan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual. Peraturan ini pun menginspirasi banyak universitas lain untuk membuat peraturan serupa.
RUU PKS
Saat ini RUU PKS masih terhambat untuk disahkan karena terdapat satu partai yang secara tegas menolak RUU PKS yaitu Partai Keadilan Sejahtera. Harapannya RUU ini dapat segera disahkan karena akan menjadi kemajuan dalam memerangi kekerasan seksual. Meskipun dengan disahkannya UU ini tidak serta-merta akan menghapuskan kekerasan seksual secara otomatis, akan tetapi setidaknya kita memiliki hal yang dapat kita pakai untuk mendesak adanya langkah konkret untuk menghapus kekerasan seksual.
Masalah kekerasan seksual adalah masalah sistemik. Ada faktor struktural di dalamnya yaitu orang yang di bawah cenderung menjadi korban sedangkan orang yang di atas cenderung melindungi atau terlindungi oleh sistem hukum yang tidak kondusif. Selain itu, ada juga faktor kultural yang artinya ada budaya di masyarakat yang membuat kekerasan seksual terlindungi, yaitu rape culture atau budaya perkosaan dan consent culture atau budaya persetujuan. Di Indonesia, consent culture sangat lemah, sedangkan di sisi lain rape culture kita sangat tinggi. Hal inilah yang menjadi faktor pemicu terjadi banyaknya kekerasan seksual yang banyak dan sekaligus sebagai faktor penghambat dalam langkah penanggulangannya.
Nikita Mirzani vs HRS
Belum lama ini viral di media tentang artis Nikita Mirzani yang dibully oleh Habib Rizieq Shihab. HRS menyebut bahwa Nikita Mirzani adalah seorang lonte. Penggunaan kata ini sangat merendahkan derajat perempuan. Di dalam komunikasi sosial pun istilah ini sudah dilupakan dan tidak digunakan lagi. Apalagi istilah vulgar ini disampaikan oleh seorang ulama yang seharusnya menjadi simbol dari kesucian dan kehormatan agama. Ulama ini pun memiliki jumlah pengikut yang sangat banyak, kuat, dan taat sehingga apapun yang dilakukannya akan senantiasa diikuti oleh pengikutnya.
Masyarakat harus berhati-hati dalam menyikapi peristiwa ini karena apabila tidak maka akan berujung pada krisis legitimasi agama. Masyarakat dapat kehilangan trust atau kepercayaan terhadap agama atau ulama. Kejadian ini sebenarnya bukan merupakan fenomena tunggal karena faktanya ada juga tokoh-tokoh agama selain Habib Rizieq Shihab yang sering kali berkomunikasi dengan emosional. Hal ini sebaiknya harus ditangani secara serius untuk menghindari krisis kepercayaan masyarakat terhadap agama karena tentunya hal ini tidak bagus untuk kehidupan beragama di Indonesia. Agama harus dikembalikan menjadi suatu faktor yang positif bagi upaya-upaya penghargaan harkat dan martabat manusia, khususnya perempuan.
Sebagai kesimpulan, Prof. Muhadjir menekankan bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan adalah masalah nasional bahkan internasional yang menuntut komitmen dan kesadaran dari semua pihak. Kita tidak bisa bergantung pada pemerintah saja, akan tetapi masyarakat juga harus ikut berperan, mulai dari tingkat keluarga, tingkat komunitas, dan tingkat publik. Kita harus meningkatkan komitmen untuk melakukan langkah-langkah konkret dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan di 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan ini.